Sejarah Bisnis Thrifting di Indonesia: Dari Gerakan Cinta Lingkungan hingga Kontroversi Impor

Istilah "thrifting" mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Thrifting, yang secara sederhana berarti kegiatan membeli barang bekas, kini telah menjadi tren gaya hidup dan bahkan bisnis yang menjamur di berbagai kota. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah thrifting di Indonesia dan bagaimana perkembangannya hingga saat ini?

Awal Mula Thrifting di Dunia

Sebelum membahas sejarah di Indonesia, mari kita lihat sedikit kilas balik asal-usul thrifting di dunia. Kegiatan jual beli barang bekas sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sejak tahun 1300-an. Namun, thrifting dalam bentuk yang lebih terorganisir mulai berkembang pada pertengahan 1800-an hingga awal 1900-an dengan berdirinya organisasi seperti Salvation Army dan Goodwill 1 di Amerika Serikat. Awalnya, penjualan barang bekas dilakukan sebagai aktivitas penggalangan dana untuk kegiatan sosial.

Popularitas barang bekas juga meningkat pada masa-masa sulit seperti Depresi Besar dan Perang Dunia I dan II, ketika masyarakat kesulitan ekonomi dan bahan baku sulit didapat. Hal ini mendorong orang untuk mencari alternatif yang lebih murah dan terjangkau, salah satunya dengan membeli barang bekas.

Masuk ke Indonesia

Di Indonesia, fenomena thrifting diperkirakan mulai muncul pada tahun 1980-an. Awalnya, kegiatan ini berkembang di wilayah pesisir yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi. Wilayah-wilayah ini menjadi pintu masuk impor pakaian bekas dari luar negeri.

Pada masa itu, pakaian bekas impor seringkali identik dengan barang ilegal atau selundupan. Namun, seiring berjalannya waktu, stigma ini mulai memudar seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan sustainable fashion dan alternatif berbelanja yang lebih terjangkau.

Perkembangan di Era Modern

Memasuki era 1990-2000an, thrifting mulai merambah ke kota-kota besar seperti Bandung. Pada masa ini, pakaian bekas mulai diasosiasikan dengan gaya hidup tertentu, seperti kalangan pemusik, pemain skateboard, dan penggemar streetwear. Pasar-pasar loak dan garage sale menjadi tempat populer untuk berburu barang thrift.

Perkembangan teknologi dan internet, terutama media sosial, semakin mempopulerkan thrifting di Indonesia. Banyak influencer dan selebriti yang mempromosikan gaya hidup thrift di akun media sosial mereka, sehingga menarik minat generasi muda. Muncul pula platform jual beli online dan komunitas thrift yang memudahkan transaksi dan pertukaran informasi.

Dari Tren Positif hingga Kontroversi

Awalnya, thrifting dipandang sebagai gerakan positif yang mendukung sustainable fashion dan mengurangi limbah tekstil. Namun, seiring dengan popularitasnya yang meningkat pesat, muncul beberapa kontroversi, terutama terkait impor pakaian bekas.

Pemerintah Indonesia beberapa kali mengeluarkan peraturan yang melarang atau membatasi impor pakaian bekas dengan alasan melindungi industri tekstil dalam negeri dan mencegah penyebaran penyakit. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, ada yang mendukung kebijakan ini untuk melindungi perekonomian nasional. Di sisi lain, ada yang mengkritik karena dianggap mematikan bisnis thrifting yang telah memberikan penghasilan bagi banyak orang.

Kesimpulan

Bisnis thrifting di Indonesia telah menempuh perjalanan yang panjang dan menarik. Dari awalnya dianggap sebagai kegiatan ilegal, kini telah menjadi bagian dari gaya hidup dan industri yang berkembang pesat. Meskipun diwarnai kontroversi, thrifting tetap menjadi alternatif menarik bagi masyarakat yang ingin tampil stylish dengan harga terjangkau dan berkontribusi pada sustainable fashion.


Komentar